Tuesday, September 3, 2013

PSIKOLOGI PEMERIKSAAN HAKIM DI PERSIDANGAN PENGADILAN AGAMA

(Bagian dari Psikologi Hukum)[1]




A.    TUJUAN HASIL PEMBELAJARAN
  1. Menjelaskan tentang disiplin ilmu psikologi hukum
  2. Menyebutkan tentang peran psikologi  hukum dan bagaimana penggunannya dalam pemeriksaan perkara perdata di persidangan Pengadilan Agama
  3. Menjelaskan secara singkat tentang hal-hal yang mempengaruhi kesaksian perkara perdata  ditinjau dari ilmu psikologi
  4. Menganalisa kondisi/ studi kasus dilihat dari pendekatan psikologi

B. URAIAN MATERI

1.      Pendahuluan

Pemeriksaan perkara adalah merupakan mencari fakta dan data hakim dalam menemukan hukum. Dalam pemeriksaan perkara hakim harus memeriksa berdasarkan fakta hukum, namun selain pembuktian yang merupakan data dan fakta hukum perlu dengan pendekatan ilmu lain untuk membantu dalam pemeriksaan perkara di pengadilan, diantaranya adalah dengan pendekatan (ilmu) psikologi hukum.
Dalam proses gugatan diharapkan dapat dicapai suatu kebenaran, dan untuk mencapai kebenaran tesebut diperlukan pembuktian agar hakim yang memeriksa persengketaan itu menjadi yakin atas kebenaran dalil yang diajukan oleh pihak-pihak yang bersengketa tersebut. Selain dengan pembuktian sebagaimana ketentuan hukum acara perdata, psikologi hukum sangat membantu untuk menemukan kebenaran dan keadilan hakim dalam mengadilinya. Karena dengan pendekatan sistem psikologi hukum yang merupakan prilaku-prilaku dan sikap para pihak yang berperkara akan sangat membantu hakim dalam menemukan  hukum yang disengketakan oleh pihak-pihak yang berperkara.
Dalam praktik pemeriksaan di pengadilan khususnya Pengadilan Agama, selain memeriksa alat-alat bukti sebagaimana telah diatur dalam undang-undang, hakim diharapkan mempelajari dan mendalami ilmu psikologi hukum. Hal ini dikarenakan bahwa penyelesaian pelanggaran hukum oloeh hakim tidak terlepas dari prilaku para pihak yang berperkara di pengadilan.  Di samping itu dengan pendekatan psikologi hukum putusan hakim akan memberikan  rasa aman dan   rasa damai serta pihak-pihak yang berperkara akan menjadi merasa puas.     

2.      TEORI  PSIKOLOGI

Hakim dalam pemeriksaan dan mengadikli perkara di persidangan harus melakukan beberpa macam  pendekatan pertimbangan, yaitu dengan  pendekatan pertimbangan yuridis, pertimbangan filosofis dan pertimbangan sosiologis. Khusus dalam pemeriksaan di persidangan selain ketiga pendekatan pertimbangan tersebut sangat diperlukan dengan pendekatan psikologis.
Pertimbangan aspek yuridis  berpatokan kepada  undang-undang yang berlaku, hakim sebagai aplikator   undang-undang wajib memahami undang-undang dengan jalan mencari undang-undang yang berhubungan dengan perkara yang  sedang diperiksa, dan harus dapat menilai apakah undang-undang tersebut adil, ada kemanfaatannya atau menjadukan kepastian hukum, sebab tujuan hukum tersebut adalah keadilan,kemanfaatan dan kepastian hukum.
Tentang pertimbangan  aspek filosofis  merupakan aspeh yang berintikan kepada kebenaran dan keadilan, sedangkan aspek sosiologis adalah mempertimbangkan agama  dan tata nilai budaya  yang hidup dalam masyarakat. Pertimbangan aspek filosofis dan sosiologis dalam penerapannya sangat memerlukan pengalamaan dan pengetahuan yang sangat luas serta kebijakan yang mampu mengikuti nilai-nilai dalam masyarakat yang terabaikan, meskipun penerapannya sangat sulit sebab tidak terikat asas legalitas bahkan dapat tidak terikaat kepada sistem.
Kemudian tidak kalah pentingnya dalam pemeriksaan perkara dipersidangan diperlukan aspek pertimbangan psikologis, sebab obyek utama psikologis manusia dan obyek yang diperiksa hakim dalam persidaangan  adalah juga manusia dan kegiatannya dalam hubungannya dengan lingkungan. Menurut Kuypers  dalam bukunya  “Inleiding  in de zielkunde” bahwa kegiatan manusia secara hakiki digolongkan menjadi tiga kegiatan utama, yaitu  kegiatan yang bersifat ketuhanan, bersifat individual, dan bersifat sosial, meskipun  menurut Aristoteles yang memandang manusia hanya insan sosial semata.     
Kegiatan manusia yang bersifat ketuhanan, ini percaya atau tidak menusia sadar atau tidak meyakini bahwa Tuhan itu ada, bahkan memperlaakukan sesuatu sebagai “Tuhan” seperti animisme, dinamisme. Sedangkan manusia seagai mahluk individu meruujuk kepada bahwa manusia kepada konstruksi jiwa dan raga[2] Oleh karen itu manusia harus difahami manusia tidak dilakukan secara parsial, meskipun secara tampak pisik merupakaan secara ekspresi dari apa yang berlangsung secara psikis.  Dalam pengertian psikis terdiri dari unsur-unsur mental, sikap, persepsi meupun rohani spiritual.
Kemudian manusia sebagai makhluk sosial artinya sebagai mahluk Allah SWT, diciptakan untuk senantiasa untuk menjalin hubungan dan berinteraksi  dengan manusia lainnya. Hal ini memang manusia tidak memiliki fasilitas fisik untuk “self supported survival, dengan kata lain secara pribadi  manusia tidak akan sanggup hidup seorang diri  tanpa lingkungan serta psikis rahaniyah, meskipun secara bio-fisiologisnya mungkin dapat mempertahankan dirinya pada tingkat kehidupan vegetatif.        
Diantara manusia sebagai obyek hakim yang diperiksa baik sebagai penggugat maupun tergugat sebagai, dilihat dari teori psikologi terdapat dua kelompok  pertama psikologi umum yaitu bertujuan penelitian untuk menemukan huum-hukum psikologi  yang berlaku bagi semua manusia. Dan kedua teori psikologi diferensial yang bertujuan penelitian untuk  menemukan  hukum-hukum psikologi yang menyangkut perbedaan manusia  yang satu dengaan manusia yang lain.
Dalam pandangan aliran psikologi terdapat aliran psikologi terapan yang mempelajari aspek kejiwaan manusia dalam kaitannya kepentingan  praktis, misalnya  seperti psikodiagnostis  menganalisa aspek kejiwaan kaitannya kepentingan manusia sebagai pihak-pihak yang berperkara. Selain itu  terdapat aliran psikologi perkembangan manusia  dilihat dari perkembangan psikologi anak sampai psikologi orang tua serta psikologi kepribadian dan tipologi yang memperhatikan kepada struktur dan tipe-tipe kepribadian manusia.        
Dengan demikian ilmu psikologi sebagaimana dalam teori psikologi yang dijelaskan di atas, sangat berguna dan dapat dimanfaatkan oleh praktisi hukum, khususnya hakim dalam rangka penerapan norma-norma  hukum, sehingga dapat berfungsi optimal dan dapat mencapai tujuan secara optimal pula dalam menerapkan hukum terhadap perkara yang dihadapinya, sehingga putusan hakim tersebut akan mendapatkan kebenaran dan keadilan bagi para pihak yang berperkara pada khususnya serta juga akan mencapai kebenaran dan keadilan bagi masyarakat.pada umumnya      


3.      PRILAKU HAKIM DALAM  PEMERIKSAAN PERSIDANGAN

Prilaku  atau tingkah laku adalah gejala-gejala kongkrit dari proses psikis, proses psikis tersebut dapat diketahui  dengan melakukan introspeksi serta obsevasi  psikologis.   Suatu tingkah laku kongkret dan teramati tidak akan terlepas dari  kehidupan batin atau kehidupan psikis  seseorang. Sebagai  ekspresi  batin tingkah laku manusia itu diumpamakan  sebagai endaapan-endapan yang dapat diamati, diuraikan, dan selanjutnya  diatur dalam pengertian-pengertian, sehingga dapat dirumuskan sebagai dalil-dalil hubungan antara dunia  batin dan dunia luar artinya tindakan manusia dengan lingkungannya.
Peristiwa tingkah laku merupakan abstraksi suatu kesatuan kejadian, kemudian yang menimbulkan tingkah laku tersebut terdapat dua faktor dasar, yaitu :
a Organisme  yang mengambil bagian  dalam situasi  sebagai totalitas terintergrasi.
b. Obyek kegiatan organisme yang mengandung arti bagi organisme  atas`pengalamannya  yang berhubungan dengan  obyek, seperti obyek benda,  peristiwa  dan lainya yang memberikan arti bagi individu  serta menimbulkan kegiatan tertentu yang dinamakan “ stimulus obyek”.   
Suatu peristiwa tingkah laku adalah suatu proses yang terjadi di dalam tataran tertentu dengan melibatkan kegiatan koordinatif antara organisme dengan stimulus obyek.  Dengan kata lain tingkah laku seseorang secara subtansial sebenarnya  merupakan respon atau reaksi terhadap rangsangan  dari lingkungannya  yang oleh individu barsangkutan dipandang perlu untuk ditanggapi.  Jadi tingkah laku seseorang merupakan hasil dari proses interaksional dari kedua fungsi yang telah dikemukakan dalam suatu hubungan yang sangat erat, selain itu terdapat rumusan yangsederhana bahwa tingkah laku merupakan hasil dari hubungan fungsional antara kepribadian dengan situasi tertentu. 
Ketepatan dalam memahami tingkah laku  diperlukan ketelitian dalam aktifitas pengendaliannya dan sangat tergantung kepada metode ilmiah yang digunakan untuk menganalisa berbagai faktor yang berpernagruh pada tingkah laku tersebut.
Selanjutnya apabila mepertanyakan bagaimana tingkah laku para hakim dalam memeriksa perkara ?.  Hal ini tergantung pada cara tingkah laku seorang hakim dalam melaksanakan pembelajaran pemeriksaan perkara. Dalam pemahaman umum pembelajaran sering dikaitkan dengan kegiatan formal individu  di pengadilan, Umpamanya mengadakan dialog dengan para pihak yang berperkara, hasilnya disebut “prestasi dialog” yang diberi bobot kualitas setelah diadakan evaluasi. Di samping itu dialog para hakim dengan para pihak-pihak yang berperkara perlu dievaluasi setelah selesai baik di kantor maupun dirumah ataupun diluar gedung pengadilan, apalagi para pihak yang berperkara mempunyai karakter yang berbeda-beda dan hakim  wajib memahami bermacam-macam karakter para pihak tersebut.
Meskipun pembelajaran ini pada umumnya sebagai kegiatan sekolah, tetapi semua kegiatan apapun termasuk pemeriksaan perkara di pengadilan  selalu melaui proses pembelajaran dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang optimal.     
Dalam pemerisaan perkara oleh hakim di pengadilan, khususnya Pengadilan Agama hakim harus dapat mengadakan perubahan-perubahan pada setiap pemeriksaan tentunya yang berkaitan dengan perkara yang bersangkutan. Perubahan-perubahan itu terjadi karena adanya faktor-faktor yangsangat menentukan proses pemeriksaan dari
hasil belajar pengalaman-pengalaman, yaitu :
a.        Arousal  artinya perhatian yang sungguh-sungguh dan terfokus sebagai hasil dari perumusan senergi psikis  (pikiran dan perasaan) terhadap suatu obyek,semakin terpusat perhatian pada pemeriksaan, semakin baik proses  pemeriksaan dan hasilnya.
b.            Motivasi sebagai motor penggerak bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan. Motivasi ini sangat penting karena merupakan suatu  “hasrat” individu untuk melakukan tingkah laku pemeriksaan. Seorang hakim akan menikmati  hasil pemeriksaannya dengan baik, kalau selaku belajar-belajar dari pengalamannya. Motivasi pemeriksaan ini dapat datang dari dalam individu dan dapat juga datang dari luar dirinya. Umpamanya motivasi dari dirinyan sendiri yaitu seorang hakim membaca buku tentang teori hukum karena keingintahuannya terhadap masalah yang dihadapnya. Sedangkan motivasi dari luar seorang hakim membaca buku tentang teori tersebut karena ada pertanyaan dari temannya. 
c.             Reinforcement   atau penguat adalah stimulus yang memperkuat dan  mempertahankan tingkah laku yang dikehendaki, sifat penguat ini ada dua macam yaitu :
1). Penguat positif yaitu memperkuat agar tingkah laku itu tetap dilaksanakan
2). Penguat negatif yaitu memperkuat agar tingkah laku itu tidak dilaksanakan lagi. 
d.      Assosiasi  adalah hubungan antara dua kejadian dalam ruang dan waktu, baiasanya hubungan ini timbul karena dua subyek yang dijadikan satu atau diassosiasikan,  dan pembentukannya tingkah laku ini melalui fungsi akal, umpamanya Ikatan Hakim Indonesia yang disingkat IKAHI, Persatuan Advokat Indonesia disingkat PERADI, dan lain sebagainya.
Dari keempat faktor ini dapat dilihat bahwa tingkah laku dapat berubah sesuai dengan kepentingannya melalui proses pembelajaran atau pengalamanya. Perubahan tingkah laku dalam diri manusia (hakim)  tergantung pada pengaruh luar atau dalam dirinya yang dapat  membentuk suatu keajegan tingkah laku dalam kurun waktu tertentu.      

4.  PENDEKATAN PSIKOLOGI HUKUM DALAM PEMERIKSAAN  PERKARA  PERDATA  DI PERSIDANGAN
Psikologi hukum merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia[3]. Bahkan menurut Sorjono Soekamto bahwa termasuk ilmu tentang yang mempelajari hukum sebagai prilaku atau sikap manusia[4]. Sedangkan Satjipto Raharja mengatakan bahwa psikologi hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan hukum yang dikehendaki.[5]  Dengan demikian  hakim dalam memeriksaan perkara di pengadilan, guna untuk mendapatkan fakta dan data yang akurat  tidak terlepas dari ilmu psikologi hukum. Sehingga pemeriksaan perkara dengan melalui ilmu  psikologi hukum tersebut dalam penegakan hukum oleh hakim di pengadilan termasuk Pengadilan Agama akan menemukan hukum yang sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat dan termasuk akan mendapatkan kebenaran dan  keadilan. 
Hal ini dikarenakan dengan pemeriksaan pendekatan psikologi hukum akan mendapatkan realita atau kenyataan perkara yang sebenarnya terjadi, sebab psikologi hukum  meliputi kenyataan sosial, kultur dan prilaku yang terjadi di dalam masyarakat. Selain itu psikologi hukum salah satu perwujudan dan perkembangan jiwa manusia. Bahkan Soerjono Soekamto  mengatakan bahwa ilmu psikologi hukum ini merupakan perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan kejiwaan dari prilaku atau sikab tindakan manusia.[6]   
Hakim dalam memeriksa perkara terhadap pihak-pihak yang berperkara harus betul-betul memahami kenapa para pihak tersebut melakukan keinkaran  terhadap hak-hak  seseorang, sehingga oleh hukum  dianggap merupakan pelanggaran hukum. Untuk itu hakim wajib memahami faktor-faktor yang menjadi penyebab keinkaran hak-hak atau yang dianggap pelanggaran hukum tersebut.
Oleh karena itu hakim sebelum memeriksa dan mengadili perkara wajib mengetahui kondisi-kondisi yang terdapat dalam masyarakat.  Hal ini disebabkan Indonesia terdiri dari berbagai ras dan suku  bangsa dengan beraneka ragam budaya. Dengan pemahaman ini sehingga hakim  dapat memahami permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakat.
Di samping itu terdapat beberapa macam faktor perilaku yang berbeda-beda demikian juga para pihak yang berperkara, apakah prilaku ini merupakan dianggap menimbulkan perbuatan keinkaran atau pelanggaran hukum atau bukan, khususnya yang berkaitan dengan norma-norma yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Terlepas dari yang telah diuraikan tersebut di atas, hakim sebagai penegah hukum juga harus memahami interaksi sosial sebagai gejala sosial yang disebabkan oleh karena hubungan (kontak) antar individu, antar invidu dengan kelompok sosial antar kelompok sosial yang satu dengan yang lainnya. Dalam interaksi ini diharapkam akan berjalan sesuai dengan ketentuan norma-norma hukum yang berlaku, akan tetapi dalam interaksi tersebut tidak jarang baik  dan kemungkinan terjadi konplik. Komplik dapat terrjadi apabila pada saat bersamaan individu satu dengan individu lainnya mempunyai kemauan dan kebutuhan  yang sama.
Ketentuan tingkah laku manusia itu berbagai macam coraknya, tergantung pada berat ringannya reaksi tingkah laku manusia dalam menilainya. Oleh karena itu hakim sebagai penilai tingkah laku yang akan menjadi rujukan bagi masyarakat harus sopan dan  santun  (kesopanan) dan ada pula yang berkenaan dengan kesusilaan yang berhubungan dengan moral maupun dengan hukum.  Hakim bila dilihat sebagai fungsinya bertujuan menjaga tata tertib dan jenis ketentuan yang berupa larangan atau keharusan bagi manusia dalam bertingkah laku. Dengan demikian berdasarkan jenisnya norma di dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
a.       Norma kesopanan  artinya ketentuan tentang tingkah laku munsia supaya dalam berinteraksi terjadi tindakan yang sopan–santun, misalnya menghormati seseorang yang lebih tuan, termasuk hakim juga melaksanakan sopan-santun dalam memeriksa perkara. Meskipun pelanggaran sanksi norma kesopanan  sangat ringan hanya berupa “celaan” dari orang lain misalnya karena tidak menghormati orang dinilai tidak sopan.
b.      Norma Kesusilaan artinya ketentuan tingkah laku manusia dalaam melaksanakan tindakan agar supaya batinnya (moral)  sesuai dengan kehendak baik masyarakat, seperti memarjinalkan orang-orang yaang rendah strukturnya. Demikian juga pelanggran atas sanksi norma kesusilaan  yang berupa “kutukan”  dari orang lain, Misalnya seorang menggunakan pakaian mini (porno)  oleh masyarakat dianggap “amoral”  
c.       Norma hukum adalah ketentuan mengenai tingkah laku manusia  agar tindakannya mengganggu ketentraman, dan keamanan orang lain, umpamanya  mengambil hak milik orang lain tanpa seizin yang mempunyainya. Norma hukum bertujuan tata tertib dalam pergaulan hidup, dengan sanksi berupa hukuman oleh lembaga yang berwenang.
Ketiga jenis norma (kesopanan, kesusilaan dan hukum)  tersebut   memiliki sanksi yang berbeda-beda sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dalam menjalankan fungsinya masing-masing dalam mengatur tingkah laku,  yaitu membatasi kebebasan manusia dalam berinteraksi sesama manusia baik secara individu maupun berkelompok. Dengan batasan-batasan interaksi dari ketiga jenis norma  tersebut, melalui kesadaran masing-masing individu diharapkan menjaga agar kelangsungan hidup manusia di dunia ini menjadi harmonis.     
Kemudian hakim sebagai bagian dari manusia yang mempunyai fungsi menjalankan dan menegakkan kebenaran dan keadilan dalam memeriksa dan mengadili perkara tidak terlepas dan harus memperhatikan dan wajib melaksanakan “ketiga jenis norma” tersebut di atas,  apalagi  ketiga jenis norma tersebut menjadi pedoman bertingkah laku dalam kehidupan manusia  pada pergaulan hidup di dunia, baik secara individu, bermasyarakat mapun bernegara, termasuk hakim itu sendiri  sebagai pelaksana yudikatif dalam sistem negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Disamping ketiga norma tersebut, yang perlu dipahami oleh para hakim harus memahami psikologi hukum, pertama  sebagai kajian atau penelitian prilaku manusia pada umumnya dan khususnya prilaku para pihak-pihak yang berperkara dalam proses hukum  seperti ingatan para saksi, pengambilan keputusan oleh hakim dan lain sebagainya. Kedua  perkembangan profesi psikologi hukum seperti di Amerika bahwa ahli psikologi mendirikan klinik-klinik psikologi yang dijadikan konsultan ahli hukum diantaranya kepolisian. Bahkan  John Stap  seorang psikiater seorang psikologi  sosial  sering diminta oleh hakim  perdata Gray untuk melaksanakan mediasi.    
Dari pengamatan tersebut di atas, betapa pentingnya peran psikologi, namun karena luasnya bidang kajian psikologi hukum maka (Blackburn 1994) membagi bidang teresbut menjaadi tiga bidang, pertama psyckology in law, yaitu  merupakan psikologi aplikasi praktis psikologi dalam bidang hukum  seperti psikologi keterangan saksi ahli dalam persidangaan di pengadilan. Kedua psyckology and law, yaitu meliputi bidang psycho- legal  researcht  yaitu penelitian tentang individu yang terkait dengaan hukum seperti hakim, penggugat, tergugat pengacara, jaksa dan lain-lain, dan ketiga psyckology of law dalam hal ini lebih abstrak, hukum sebagai penentu prilaku manusia, isu yang dikaji antara lain bagaimana masyaraakat mempengaruhi hukum dan bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat.
Pemeriksaan perkara di pengadilan, khususnya di Pengadilan Agama hakim mencari informasi kejadian dan fakta,  diantaranya dengan alat bukti yang telah ditentukan hukum acara perdata. Dengan adanya alat bukti tersebut hakim mempunyai dasar yang kuat untuk memutuskan dikabulkan atau ditolak gugatan yang diajukan kepadanya
Salah satu alat bukti tersebut adalah “saksi”, dan saksi itu adalah manusia biasa, sehingga terdapat beberapa hal yang mempengaruhi kesesuaian keterangannya dam fakta yang sebenarnya. Terdapat tiga hal yang tidak kesesuaian keterangan saksi tersebut, yaitu (1)  keterbatasan otak  saksi dalam mengolah, merekam dan mengingat informasi, (2). Bias yang terjadi dalam persepsi hakim di dalam menilai kebenaran kesaksian , dan (3). Cara penggalian informasi di pegadilan.  
Di samping itu terdapat beberapa hal yang ikut memperhatikan kejadian secara penuh  terhadap saksi :
a.       Primary and recency adalah rekaman ingatan yang kuat oleh saksi terhadap sesuatu kejadian di awal dan di akhir, sedangkan di tengah-tengah kurang mendapat perhatian memory 
b.      Faktor Stres  terjadinya kejadian yang mengerikan yang dilihat oleh saksi, sehingga menimbulkan permasalahan terhadap saksi itu sendiri
c.      Faktor emosi yaitu terdapat kebencian atau ketakuan yang amat kuat terhadap pihak, seperti pemerkosaan, kesombongan,keangkuhan  dan lain-lain
d.     Bias hakim di dalam menilai kesaksian, Hal ini bisa terjadi adanya pengaruh hakim terhadap etnik, suku atau ras dan lain sebagainya.
e.      Status sosial, dan stutus ekonomi status ini juga kadang-kadang juga bisa mempengaruhi bias pemeriskaan oleh hakim sebagaimana pendapat Satjipto Rahardjo, bahwa hakim memeriksa bupati dengan tukang baso akan berbeda, demikian juga terhadap status sosial tersebut terhadap para saksi.    

5.      Sumber Referensi
Atkinson, Pengantar Psikologi, Jakarta, Erlangga, 1999
Bertens, Etika, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1994
Blau, Theodore, H. Psychology Service for Law Enforment, New York, 1994.
      Drever J.A., Dictionary of psychology, Penguin Books, 1976

Fatuhrahman, Tri Hayuning Tyas, Wenty Marina Minza, Galang Lufityanto, Peyunting, Psikologi untuk Kesejahteraan Masyarakat, Yogyakarta, Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, 2011
Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, Bandung, Alumni, 1996
..................................,    Ilmu Hukum, Bandung, Citra Adytia Bakti, 2006
Lili Rasyidi, Lili & Ira Rasydi, Pengantar Filsafat dan teori Hukum, Bandung,Citra Adytia Bakti, 2001
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, Jakarta, Raja Grafindo, 2001
Soedjono,D. Pengantar Tentang psikologi Hukum, Bandung, Alumni, 1983
Muhibbin Syah, Psikologi Perkembangan dengan pendekatan Baru, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2008
Hendra Akhihiyat, Rosleny Marliani, Psikologi Hukum, Bandung, Pustaka Setia, 2011.
Soejono Suekamto, Aliran Pemikiran Sosiologi HukumBandung Raja Grafindo  Persada, 2006  
................................,  Sosiologi Hukum, Jakarta, Bina Cipa, 1985.
Gerungan, WA, Psikologi Sosial,  Bandung, Refika Aditama, 2004.   

6.      Aktivitas Pembelajaran
a.                                                     Ceramah Singkat
Nara sumber memberikan cramah singkat terkait psikologi hukum secara
kegiatan yang bersifat interaktif lainnya.
b.                                                    Tanya Jawab
Pada sesi ini perserta diberikan kesempatan untuk bertanya kepada nara sumber tentang materi psikologi hukum dalam pemeriksaan perkara di persidangan
c.       Analisa Praktik Persidangan
Menganalisa dan menskusikan beberapa perkara atau kasus yang membutuhkan dukungan disiplin ilmu psikologi  dan bagaimana hakim dapat menanganinya
Kesimpulan Nara Sumber    

 














Kegiatan yg mngambil bagian dlm situasi sebagai totalitas ter intergrasi
  
 
Obyek kgiatan organis atas pengalam- an yg berhubungan obyek benda, peris tiwa dll yg memberikan arti dan me  -nimbul kan kegiatan  tertentu
 
 



































































Oval: FAKTOR-2
SISTEM PEMERIKSAAN PERKARA DI PERSIDANGAN
Oval: PENGUAT POSITIF
 









Oval: REINFORCEMENT
                                                                                                             
 































[1]  Dr. KOMARI, SH. M Hum. Disaampaikan kepada Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu (PPC Terpadu) Angkatan ke VII Tahun 2013 di Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI  Mega Mendung Bogor tanggal 05 Juni 2013.
[2] . Hendra Akhdhiyat, Rosleny Marliany, Psikhologi Hukum , Bandung, Pustaka Setia, 2011, hlm.32
[3] . Drever J.A., Dictionary of psychology Penguin Books, 1976
[4] Soerjono Soekamto, Soesiologi Hukum, Jakarta,  Liberty, 1989
[5] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000.
[6] Ibid

No comments:

Post a Comment