(Bagian dari Psikologi Hukum)[1]
A.
TUJUAN
HASIL PEMBELAJARAN
- Menjelaskan tentang disiplin ilmu
psikologi hukum
- Menyebutkan tentang peran
psikologi hukum dan bagaimana
penggunannya dalam pemeriksaan perkara perdata di persidangan Pengadilan
Agama
- Menjelaskan secara singkat tentang
hal-hal yang mempengaruhi kesaksian perkara perdata ditinjau dari ilmu psikologi
- Menganalisa kondisi/ studi kasus
dilihat dari pendekatan psikologi
B. URAIAN MATERI
1.
Pendahuluan
Pemeriksaan perkara adalah merupakan mencari fakta dan data
hakim dalam menemukan hukum. Dalam pemeriksaan perkara hakim harus memeriksa
berdasarkan fakta hukum, namun selain pembuktian yang merupakan data dan fakta
hukum perlu dengan pendekatan ilmu lain untuk membantu dalam pemeriksaan
perkara di pengadilan, diantaranya adalah dengan pendekatan (ilmu) psikologi
hukum.
Dalam proses gugatan diharapkan dapat dicapai suatu
kebenaran, dan untuk mencapai kebenaran tesebut diperlukan pembuktian agar
hakim yang memeriksa persengketaan itu menjadi yakin atas kebenaran dalil yang
diajukan oleh pihak-pihak yang bersengketa tersebut. Selain dengan pembuktian
sebagaimana ketentuan hukum acara perdata, psikologi hukum sangat membantu
untuk menemukan kebenaran dan keadilan hakim dalam mengadilinya. Karena dengan pendekatan
sistem psikologi hukum yang merupakan prilaku-prilaku dan sikap para pihak yang
berperkara akan sangat membantu hakim dalam menemukan hukum yang disengketakan oleh pihak-pihak
yang berperkara.
Dalam praktik pemeriksaan di pengadilan khususnya
Pengadilan Agama, selain memeriksa alat-alat bukti sebagaimana telah diatur
dalam undang-undang, hakim diharapkan mempelajari dan mendalami ilmu psikologi
hukum. Hal ini dikarenakan bahwa penyelesaian pelanggaran hukum oloeh hakim tidak
terlepas dari prilaku para pihak yang berperkara di pengadilan. Di samping itu dengan pendekatan psikologi
hukum putusan hakim akan memberikan rasa
aman dan rasa damai serta pihak-pihak
yang berperkara akan menjadi merasa puas.
2.
TEORI PSIKOLOGI
Hakim dalam
pemeriksaan dan mengadikli perkara di persidangan harus melakukan beberpa
macam pendekatan pertimbangan, yaitu
dengan pendekatan pertimbangan yuridis, pertimbangan
filosofis dan pertimbangan sosiologis. Khusus dalam pemeriksaan di persidangan
selain ketiga pendekatan pertimbangan tersebut sangat diperlukan dengan
pendekatan psikologis.
Pertimbangan aspek
yuridis berpatokan kepada undang-undang yang berlaku, hakim sebagai
aplikator undang-undang wajib memahami undang-undang
dengan jalan mencari undang-undang yang berhubungan dengan perkara yang sedang diperiksa, dan harus dapat menilai
apakah undang-undang tersebut adil, ada kemanfaatannya atau menjadukan
kepastian hukum, sebab tujuan hukum tersebut adalah keadilan,kemanfaatan dan
kepastian hukum.
Tentang
pertimbangan aspek filosofis merupakan aspeh yang berintikan kepada
kebenaran dan keadilan, sedangkan aspek sosiologis adalah mempertimbangkan
agama dan tata nilai budaya yang hidup dalam masyarakat. Pertimbangan
aspek filosofis dan sosiologis dalam penerapannya sangat memerlukan pengalamaan
dan pengetahuan yang sangat luas serta kebijakan yang mampu mengikuti
nilai-nilai dalam masyarakat yang terabaikan, meskipun penerapannya sangat
sulit sebab tidak terikat asas legalitas bahkan dapat tidak terikaat kepada
sistem.
Kemudian tidak
kalah pentingnya dalam pemeriksaan perkara dipersidangan diperlukan aspek pertimbangan
psikologis, sebab obyek utama psikologis manusia dan obyek yang diperiksa hakim
dalam persidaangan adalah juga manusia
dan kegiatannya dalam hubungannya dengan lingkungan. Menurut Kuypers dalam bukunya
“Inleiding in de zielkunde”
bahwa kegiatan manusia secara hakiki digolongkan menjadi tiga kegiatan utama,
yaitu kegiatan yang bersifat ketuhanan,
bersifat individual, dan bersifat sosial, meskipun menurut Aristoteles yang memandang manusia
hanya insan sosial semata.
Kegiatan manusia
yang bersifat ketuhanan, ini percaya atau tidak menusia sadar atau tidak
meyakini bahwa Tuhan itu ada, bahkan memperlaakukan sesuatu sebagai “Tuhan”
seperti animisme, dinamisme. Sedangkan manusia seagai mahluk individu meruujuk
kepada bahwa manusia kepada konstruksi jiwa dan raga[2]
Oleh karen itu manusia harus difahami manusia tidak dilakukan secara parsial,
meskipun secara tampak pisik merupakaan secara ekspresi dari apa yang
berlangsung secara psikis. Dalam
pengertian psikis terdiri dari unsur-unsur mental, sikap, persepsi meupun
rohani spiritual.
Kemudian manusia
sebagai makhluk sosial artinya sebagai mahluk Allah SWT, diciptakan untuk
senantiasa untuk menjalin hubungan dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Hal ini memang
manusia tidak memiliki fasilitas fisik untuk “self supported survival, dengan
kata lain secara pribadi manusia tidak
akan sanggup hidup seorang diri tanpa
lingkungan serta psikis rahaniyah, meskipun secara bio-fisiologisnya mungkin
dapat mempertahankan dirinya pada tingkat kehidupan vegetatif.
Diantara manusia
sebagai obyek hakim yang diperiksa baik sebagai penggugat maupun tergugat
sebagai, dilihat dari teori psikologi terdapat dua kelompok pertama psikologi umum yaitu bertujuan
penelitian untuk menemukan huum-hukum psikologi
yang berlaku bagi semua manusia. Dan kedua teori psikologi diferensial
yang bertujuan penelitian untuk
menemukan hukum-hukum psikologi
yang menyangkut perbedaan manusia yang
satu dengaan manusia yang lain.
Dalam pandangan
aliran psikologi terdapat aliran psikologi terapan yang mempelajari aspek
kejiwaan manusia dalam kaitannya kepentingan
praktis, misalnya seperti psikodiagnostis menganalisa aspek kejiwaan kaitannya kepentingan
manusia sebagai pihak-pihak yang berperkara. Selain itu terdapat aliran psikologi perkembangan
manusia dilihat dari perkembangan
psikologi anak sampai psikologi orang tua serta psikologi kepribadian dan
tipologi yang memperhatikan kepada struktur dan tipe-tipe kepribadian
manusia.
Dengan demikian ilmu
psikologi sebagaimana dalam teori psikologi yang dijelaskan di atas, sangat
berguna dan dapat dimanfaatkan oleh praktisi hukum, khususnya hakim dalam
rangka penerapan norma-norma hukum,
sehingga dapat berfungsi optimal dan dapat mencapai tujuan secara optimal pula dalam
menerapkan hukum terhadap perkara yang dihadapinya, sehingga putusan hakim
tersebut akan mendapatkan kebenaran dan keadilan bagi para pihak yang
berperkara pada khususnya serta juga akan mencapai kebenaran dan keadilan bagi masyarakat.pada
umumnya
3.
PRILAKU
HAKIM DALAM PEMERIKSAAN PERSIDANGAN
Prilaku atau tingkah laku adalah gejala-gejala kongkrit
dari proses psikis, proses psikis tersebut dapat diketahui dengan melakukan introspeksi serta
obsevasi psikologis. Suatu tingkah laku kongkret dan teramati
tidak akan terlepas dari kehidupan batin
atau kehidupan psikis seseorang.
Sebagai ekspresi batin tingkah laku manusia itu diumpamakan sebagai endaapan-endapan yang dapat diamati,
diuraikan, dan selanjutnya diatur dalam
pengertian-pengertian, sehingga dapat dirumuskan sebagai dalil-dalil hubungan
antara dunia batin dan dunia luar
artinya tindakan manusia dengan lingkungannya.
Peristiwa
tingkah laku merupakan abstraksi suatu kesatuan kejadian, kemudian yang
menimbulkan tingkah laku tersebut terdapat dua faktor dasar, yaitu :
a Organisme yang mengambil bagian dalam situasi
sebagai totalitas terintergrasi.
b. Obyek kegiatan
organisme yang mengandung arti bagi organisme
atas`pengalamannya yang
berhubungan dengan obyek, seperti obyek
benda, peristiwa dan lainya yang memberikan arti bagi
individu serta menimbulkan kegiatan
tertentu yang dinamakan “ stimulus obyek”.
Suatu peristiwa
tingkah laku adalah suatu proses yang terjadi di dalam tataran tertentu dengan
melibatkan kegiatan koordinatif antara organisme dengan stimulus obyek. Dengan kata lain tingkah laku seseorang
secara subtansial sebenarnya merupakan
respon atau reaksi terhadap rangsangan
dari lingkungannya yang oleh
individu barsangkutan dipandang perlu untuk ditanggapi. Jadi tingkah laku seseorang merupakan hasil
dari proses interaksional dari kedua fungsi yang telah dikemukakan dalam suatu
hubungan yang sangat erat, selain itu terdapat rumusan yangsederhana bahwa
tingkah laku merupakan hasil dari hubungan fungsional antara kepribadian dengan
situasi tertentu.
Ketepatan dalam
memahami tingkah laku diperlukan
ketelitian dalam aktifitas pengendaliannya dan sangat tergantung kepada metode
ilmiah yang digunakan untuk menganalisa berbagai faktor yang berpernagruh pada
tingkah laku tersebut.
Selanjutnya
apabila mepertanyakan bagaimana tingkah laku para hakim dalam memeriksa perkara
?. Hal ini tergantung pada cara tingkah
laku seorang hakim dalam melaksanakan pembelajaran pemeriksaan perkara. Dalam
pemahaman umum pembelajaran sering dikaitkan dengan kegiatan formal
individu di pengadilan, Umpamanya
mengadakan dialog dengan para pihak yang berperkara, hasilnya disebut “prestasi
dialog” yang diberi bobot kualitas setelah diadakan evaluasi. Di
samping itu dialog para hakim dengan para pihak-pihak yang berperkara perlu
dievaluasi setelah selesai baik di kantor maupun dirumah ataupun diluar gedung
pengadilan, apalagi para pihak yang berperkara mempunyai karakter yang
berbeda-beda dan hakim wajib memahami
bermacam-macam karakter para pihak tersebut.
Meskipun
pembelajaran ini pada umumnya sebagai kegiatan sekolah, tetapi semua kegiatan
apapun termasuk pemeriksaan perkara di pengadilan selalu melaui proses pembelajaran dengan
tujuan untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Dalam pemerisaan
perkara oleh hakim di pengadilan, khususnya Pengadilan Agama hakim harus dapat
mengadakan perubahan-perubahan pada setiap pemeriksaan tentunya yang berkaitan
dengan perkara yang bersangkutan. Perubahan-perubahan itu terjadi karena adanya
faktor-faktor yangsangat menentukan proses pemeriksaan dari
hasil belajar
pengalaman-pengalaman, yaitu :
a.
Arousal
artinya perhatian yang sungguh-sungguh dan terfokus sebagai hasil dari
perumusan senergi psikis (pikiran dan
perasaan) terhadap suatu obyek,semakin terpusat perhatian pada pemeriksaan,
semakin baik proses pemeriksaan dan
hasilnya.
b.
Motivasi sebagai
motor penggerak bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan. Motivasi ini sangat
penting karena merupakan suatu “hasrat”
individu untuk melakukan tingkah laku pemeriksaan. Seorang hakim akan menikmati
hasil pemeriksaannya dengan baik, kalau
selaku belajar-belajar dari pengalamannya. Motivasi pemeriksaan ini dapat
datang dari dalam individu dan dapat juga datang dari luar dirinya. Umpamanya
motivasi dari dirinyan sendiri yaitu seorang hakim membaca buku tentang teori
hukum karena keingintahuannya terhadap masalah yang dihadapnya. Sedangkan
motivasi dari luar seorang hakim membaca buku tentang teori tersebut karena ada
pertanyaan dari temannya.
c.
Reinforcement atau
penguat adalah stimulus yang memperkuat dan
mempertahankan tingkah laku yang dikehendaki, sifat penguat ini ada dua
macam yaitu :
1). Penguat
positif yaitu memperkuat agar tingkah laku itu tetap dilaksanakan
2). Penguat
negatif yaitu memperkuat agar tingkah laku itu tidak dilaksanakan lagi.
d.
Assosiasi adalah hubungan antara dua kejadian dalam
ruang dan waktu, baiasanya hubungan ini timbul karena dua subyek yang dijadikan
satu atau diassosiasikan, dan
pembentukannya tingkah laku ini melalui fungsi akal, umpamanya Ikatan Hakim
Indonesia yang disingkat IKAHI, Persatuan Advokat Indonesia disingkat PERADI,
dan lain sebagainya.
Dari keempat faktor ini dapat
dilihat bahwa tingkah laku dapat berubah sesuai dengan kepentingannya melalui
proses pembelajaran atau pengalamanya. Perubahan tingkah laku dalam diri
manusia (hakim) tergantung pada pengaruh
luar atau dalam dirinya yang dapat
membentuk suatu keajegan tingkah laku dalam kurun waktu tertentu.
4. PENDEKATAN PSIKOLOGI HUKUM DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA DI PERSIDANGAN
Psikologi hukum merupakan cabang
ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari
perkembangan jiwa manusia[3].
Bahkan menurut Sorjono Soekamto bahwa termasuk ilmu tentang yang mempelajari
hukum sebagai prilaku atau sikap manusia[4].
Sedangkan Satjipto Raharja mengatakan bahwa psikologi hukum sebagai alat untuk mencapai
tujuan hukum yang dikehendaki.[5]
Dengan demikian hakim dalam memeriksaan perkara di
pengadilan, guna untuk mendapatkan fakta dan data yang akurat tidak terlepas dari ilmu psikologi hukum.
Sehingga pemeriksaan perkara dengan melalui ilmu psikologi hukum tersebut dalam penegakan
hukum oleh hakim di pengadilan termasuk Pengadilan Agama akan menemukan hukum
yang sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat dan termasuk akan mendapatkan
kebenaran dan keadilan.
Hal ini dikarenakan dengan
pemeriksaan pendekatan psikologi hukum akan mendapatkan realita atau kenyataan
perkara yang sebenarnya terjadi, sebab psikologi hukum meliputi kenyataan sosial, kultur dan prilaku
yang terjadi di dalam masyarakat. Selain itu psikologi hukum salah satu
perwujudan dan perkembangan jiwa manusia. Bahkan Soerjono Soekamto mengatakan bahwa ilmu psikologi hukum ini
merupakan perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan
kejiwaan dari prilaku atau sikab tindakan manusia.[6]
Hakim dalam memeriksa perkara
terhadap pihak-pihak yang berperkara harus betul-betul memahami kenapa para
pihak tersebut melakukan keinkaran
terhadap hak-hak seseorang,
sehingga oleh hukum dianggap merupakan
pelanggaran hukum. Untuk itu hakim wajib memahami faktor-faktor yang menjadi
penyebab keinkaran hak-hak atau yang dianggap pelanggaran hukum tersebut.
Oleh karena itu hakim sebelum memeriksa
dan mengadili perkara wajib mengetahui kondisi-kondisi yang terdapat dalam
masyarakat. Hal ini disebabkan Indonesia
terdiri dari berbagai ras dan suku bangsa dengan beraneka ragam budaya. Dengan
pemahaman ini sehingga hakim dapat
memahami permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakat.
Di samping itu terdapat
beberapa macam faktor perilaku yang berbeda-beda demikian juga para pihak yang
berperkara, apakah prilaku ini merupakan dianggap menimbulkan perbuatan
keinkaran atau pelanggaran hukum atau bukan, khususnya yang berkaitan dengan norma-norma
yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Terlepas dari yang telah diuraikan
tersebut di atas, hakim sebagai penegah hukum juga harus memahami interaksi
sosial sebagai gejala sosial yang disebabkan oleh karena hubungan (kontak)
antar individu, antar invidu dengan kelompok sosial antar kelompok sosial yang
satu dengan yang lainnya. Dalam interaksi ini diharapkam akan berjalan sesuai
dengan ketentuan norma-norma hukum yang berlaku, akan tetapi dalam interaksi
tersebut tidak jarang baik dan
kemungkinan terjadi konplik. Komplik dapat terrjadi apabila pada saat bersamaan
individu satu dengan individu lainnya mempunyai kemauan dan kebutuhan yang sama.
Ketentuan tingkah laku manusia
itu berbagai macam coraknya, tergantung pada berat ringannya reaksi tingkah
laku manusia dalam menilainya. Oleh karena itu hakim sebagai penilai tingkah laku
yang akan menjadi rujukan bagi masyarakat harus sopan dan santun
(kesopanan) dan ada pula yang berkenaan dengan kesusilaan yang
berhubungan dengan moral maupun dengan hukum. Hakim bila dilihat sebagai fungsinya bertujuan
menjaga tata tertib dan jenis ketentuan yang berupa larangan atau keharusan
bagi manusia dalam bertingkah laku. Dengan demikian berdasarkan jenisnya norma
di dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
a.
Norma kesopanan artinya ketentuan tentang tingkah laku munsia
supaya dalam berinteraksi terjadi tindakan yang sopan–santun, misalnya
menghormati seseorang yang lebih tuan, termasuk hakim juga melaksanakan
sopan-santun dalam memeriksa perkara. Meskipun pelanggaran sanksi norma
kesopanan sangat ringan hanya berupa “celaan”
dari orang lain misalnya karena tidak menghormati orang dinilai tidak sopan.
b.
Norma
Kesusilaan artinya ketentuan tingkah laku manusia dalaam melaksanakan tindakan
agar supaya batinnya (moral) sesuai
dengan kehendak baik masyarakat, seperti memarjinalkan orang-orang yaang rendah
strukturnya. Demikian juga pelanggran atas sanksi norma kesusilaan yang berupa “kutukan” dari orang lain, Misalnya seorang menggunakan
pakaian mini (porno) oleh masyarakat
dianggap “amoral”
c.
Norma hukum
adalah ketentuan mengenai tingkah laku manusia
agar tindakannya mengganggu ketentraman, dan keamanan orang lain,
umpamanya mengambil hak milik orang lain
tanpa seizin yang mempunyainya. Norma hukum bertujuan tata tertib dalam
pergaulan hidup, dengan sanksi berupa hukuman oleh lembaga yang berwenang.
Ketiga jenis norma (kesopanan,
kesusilaan dan hukum) tersebut memiliki sanksi yang berbeda-beda sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas dalam menjalankan fungsinya masing-masing dalam
mengatur tingkah laku, yaitu membatasi
kebebasan manusia dalam berinteraksi sesama manusia baik secara individu maupun
berkelompok. Dengan batasan-batasan interaksi dari ketiga jenis norma tersebut, melalui kesadaran masing-masing
individu diharapkan menjaga agar kelangsungan hidup manusia di dunia ini
menjadi harmonis.
Kemudian hakim sebagai bagian
dari manusia yang mempunyai fungsi menjalankan dan menegakkan kebenaran dan
keadilan dalam memeriksa dan mengadili perkara tidak terlepas dan harus
memperhatikan dan wajib melaksanakan “ketiga jenis norma”
tersebut di atas, apalagi ketiga jenis norma tersebut menjadi pedoman
bertingkah laku dalam kehidupan manusia pada
pergaulan hidup di dunia, baik secara individu, bermasyarakat mapun bernegara,
termasuk hakim itu sendiri sebagai
pelaksana yudikatif dalam sistem negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.
Disamping ketiga norma
tersebut, yang perlu dipahami oleh para hakim harus memahami psikologi hukum,
pertama sebagai kajian atau penelitian
prilaku manusia pada umumnya dan khususnya prilaku para pihak-pihak yang
berperkara dalam proses hukum seperti
ingatan para saksi, pengambilan keputusan oleh hakim dan lain sebagainya.
Kedua perkembangan profesi psikologi
hukum seperti di Amerika bahwa ahli psikologi mendirikan klinik-klinik
psikologi yang dijadikan konsultan ahli hukum diantaranya kepolisian.
Bahkan John Stap seorang psikiater seorang psikologi sosial
sering diminta oleh hakim perdata
Gray untuk melaksanakan mediasi.
Dari pengamatan tersebut di atas,
betapa pentingnya peran psikologi, namun karena luasnya bidang kajian psikologi
hukum maka (Blackburn 1994) membagi bidang teresbut menjaadi tiga bidang,
pertama psyckology in law, yaitu
merupakan psikologi aplikasi praktis psikologi dalam bidang hukum seperti psikologi keterangan saksi ahli dalam
persidangaan di pengadilan. Kedua psyckology and law, yaitu meliputi bidang
psycho- legal researcht yaitu penelitian tentang individu yang
terkait dengaan hukum seperti hakim, penggugat, tergugat pengacara, jaksa dan
lain-lain, dan ketiga psyckology of law dalam hal ini lebih abstrak, hukum
sebagai penentu prilaku manusia, isu yang dikaji antara lain bagaimana
masyaraakat mempengaruhi hukum dan bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat.
Pemeriksaan perkara di
pengadilan, khususnya di Pengadilan Agama hakim mencari informasi kejadian dan
fakta, diantaranya dengan alat bukti
yang telah ditentukan hukum acara perdata. Dengan adanya alat bukti tersebut
hakim mempunyai dasar yang kuat untuk memutuskan dikabulkan atau ditolak
gugatan yang diajukan kepadanya
Salah satu alat bukti tersebut
adalah “saksi”, dan saksi itu adalah manusia biasa, sehingga
terdapat beberapa hal yang mempengaruhi kesesuaian keterangannya dam fakta yang
sebenarnya. Terdapat tiga hal yang tidak kesesuaian keterangan saksi tersebut,
yaitu (1) keterbatasan otak saksi dalam mengolah, merekam dan mengingat
informasi, (2). Bias yang terjadi dalam persepsi hakim di dalam menilai
kebenaran kesaksian , dan (3). Cara penggalian informasi di pegadilan.
Di samping itu terdapat
beberapa hal yang ikut memperhatikan kejadian secara penuh terhadap saksi :
a.
Primary and
recency adalah rekaman ingatan yang kuat oleh saksi terhadap sesuatu kejadian
di awal dan di akhir, sedangkan di tengah-tengah kurang mendapat perhatian
memory
b.
Faktor
Stres terjadinya kejadian yang
mengerikan yang dilihat oleh saksi, sehingga menimbulkan permasalahan terhadap
saksi itu sendiri
c.
Faktor emosi
yaitu terdapat kebencian atau ketakuan yang amat kuat terhadap pihak, seperti
pemerkosaan, kesombongan,keangkuhan dan
lain-lain
d.
Bias hakim di
dalam menilai kesaksian, Hal ini bisa terjadi adanya pengaruh hakim terhadap
etnik, suku atau ras dan lain sebagainya.
e.
Status
sosial, dan stutus ekonomi status ini juga kadang-kadang juga bisa mempengaruhi
bias pemeriskaan oleh hakim sebagaimana pendapat Satjipto Rahardjo, bahwa hakim
memeriksa bupati dengan tukang baso akan berbeda, demikian juga terhadap status
sosial tersebut terhadap para saksi.
5.
Sumber
Referensi
Atkinson, Pengantar
Psikologi, Jakarta, Erlangga, 1999
Bertens, Etika,
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1994
Blau,
Theodore, H. Psychology Service for Law Enforment, New York,
1994.
Drever
J.A., Dictionary of psychology, Penguin Books, 1976
Fatuhrahman,
Tri Hayuning Tyas, Wenty Marina Minza, Galang Lufityanto, Peyunting, Psikologi
untuk Kesejahteraan Masyarakat, Yogyakarta, Fakultas Psikologi
Universitas Gajah Mada, 2011
Satjipto
Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, Bandung, Alumni, 1996
.................................., Ilmu Hukum, Bandung, Citra Adytia Bakti, 2006
Lili Rasyidi, Lili
& Ira Rasydi, Pengantar Filsafat dan teori Hukum, Bandung,Citra
Adytia Bakti, 2001
Sarlito Wirawan
Sarwono, Psikologi Remaja, Jakarta, Raja Grafindo, 2001
Soedjono,D. Pengantar
Tentang psikologi Hukum, Bandung, Alumni, 1983
Muhibbin
Syah, Psikologi Perkembangan dengan pendekatan Baru, Bandung,
Remaja Rosdakarya, 2008
Hendra Akhihiyat,
Rosleny Marliani, Psikologi Hukum, Bandung, Pustaka Setia, 2011.
Soejono Suekamto,
Aliran Pemikiran Sosiologi Hukum,
Bandung Raja Grafindo
Persada, 2006
................................, Sosiologi Hukum, Jakarta, Bina Cipa, 1985.
Gerungan, WA, Psikologi
Sosial, Bandung, Refika Aditama,
2004.
6.
Aktivitas
Pembelajaran
a.
Ceramah
Singkat
Nara sumber memberikan cramah singkat
terkait psikologi hukum secara
kegiatan yang bersifat interaktif
lainnya.
b.
Tanya Jawab
Pada sesi ini perserta diberikan
kesempatan untuk bertanya kepada nara sumber tentang materi psikologi hukum
dalam pemeriksaan perkara di persidangan
c.
Analisa
Praktik Persidangan
Menganalisa dan menskusikan beberapa
perkara atau kasus yang membutuhkan dukungan disiplin ilmu psikologi dan bagaimana hakim dapat menanganinya
Kesimpulan Nara Sumber

![]() |
||||||||||
![]() |
||||||||||
![]() |
||||||||||
|
||||||||||
![]() |
||||||||||
|
||||||||||
![]() |
||||||||||
![]() |
|||||
![]() |
|||||
![]() |
|||||


![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
![]() |
[1] Dr. KOMARI, SH. M Hum. Disaampaikan kepada
Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu (PPC Terpadu) Angkatan ke VII
Tahun 2013 di Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI Mega Mendung Bogor tanggal 05 Juni 2013.
[2] . Hendra Akhdhiyat, Rosleny Marliany, Psikhologi Hukum ,
Bandung, Pustaka Setia, 2011, hlm.32
[3] . Drever J.A., Dictionary of psychology Penguin Books,
1976
[4] Soerjono Soekamto, Soesiologi Hukum, Jakarta, Liberty, 1989
[5] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya
Bakti, 2000.
[6] Ibid